Mahaguru Alas Kencono Wungu


 

Syahdan Mahaguru Kucing di Alas Kencono Wungu sedang bersantai-santai di tepian Kali Bluwak.

Matanya tajam mengamati permukaan kali. Sebagai sebinatang sakti mandraguna, ia tak seperti satoan lainnya yang hanya bisa menangkap apa yang ada di permukaan.

Ia mampu melihat lebih ke kedalaman bahkan sampai dasar kali. Apa saja yang sedang berenang di dalamnya. Dan hari itu ia sedang kepingin makan ikan. Geliat ekor tikus menjelang ajal sudah bosan ia tatap.

Sepandai-pandai dan sebijak-bijak dirinya, ia hanyalah satoan karnivora yang tak mampu bergeming melihat, merasakan, dan mencium amisnya daging. Dan untuk hari itu, ikan wader bukanlah menu utamanya. Sebagai predator kali ini ia akan memangsa predator Kali Bluwak yaitu ikan gabus.

Di bulan ini, ikan gabus sedang merajalela di kali itu. Dagingnya yang lembut dan lemaknya yang bertaburan di sekujur tubuh membuat air liurnya menetes. Dua tetes saja sudah cukup membuat kepalanya pusing.

Enggak pakai kata lama, tangannya dicelupkan ke air. Ia memutar-mutar cakarnya. Pelan-pelan. Lama kelamaan cepat. Membentuk pusaran kecil lalu membesar. Kemudian tiba-tiba beberapa ikan gabus, tepatnya lima ekor, melesat ke atas, dan jatuh ke tepian sungai. Dekat dengan moncongnya yang sudah mendengus-dengus.

Di pagi itu, Mahaguru Kucing menang banyak. Perutnya kenyang tidak ketulungan. Sambil menjilat-jilat cakarnya yang masih berlumuran darah ikan, mendadak ia berteriak, “Anjing!!! Keluarlah!!!” Suaranya berat menggema. Di telinga manusia, yang terdengar hanyalah meongan kucing lagi berahi.

Dalam jarak sepelemparan tombak, sosok bermoncong panjang, bertelinga tinggi, gigi taring mengilat, mata merah kurang tidur, ekor sedikit panjang, tertekuk dan disembunyikan di antara kedua kakinya, keluar dari semak-semak. Ya, betullah ia anjing di hutan itu.

“Aku sudah tahu lama engkau ada di situ. Bahkan saat niat mengintipmu pun belum mampir di kepalamu yang kosong. Ada apa?” tanya Mahaguru Kucing penuh selidik.

“Angkat aku sebagai muridmu, Tuan? Aku ingin sakti sepertimu.”

“Kesaktian itu buat apa?” tanya Mahaguru Kucing. Kali ini dengan ujung salah satu cakarnya yang tajam ia mencongkel daging ikan gabus yang masih terselip di sela-sela giginya.

“Agar aku mudah cari makan.”

Perbincangan itu lama dan penuh filsafat. Sepertinya tidak bisa dicerna gampang oleh khalayak ramai Alas Kencono Wungu, kecuali engkau punya waktu yang cukup untuk mendengar perbincangan para satoan itu.

Di suatu waktu, di petang yang mau menjelang, dua binatang sedang berlatih kedigdayaan. Di mata binatang awam, yang tampak hanyalah lesatan bayangan dan kesiut angin yang menggiriskan. Mahaguru Kucing dan anjing sedang bertarung rupanya.

Anjing sekarang sudah bisa menguasai cara menggeram, melompat, menerkam, menelikung, menjepit, menggigit, memeong, mendengus, makan, minum, berjalan, berlari, berputar, berdiri di atas satu kaki, mengendap-endap tanpa suara, meringankan tubuh, bernafas, melotot, jatuh dengan kaki terlebih dahulu menempel di permukaan tanah, dan sebagainya.

Anjing kini sudah bisa makan lima ekor ikan gabus dalam satu waktu. Ini sebuah peningkatan ilmu yang luar biasa. Awalnya dulu yang ia dapatkan hanya beberapa gelintir ikan sepat.

Barangkali kalau diukur-ukur ilmunya sekarang sudah setara dengan Mahaguru Kucing. Mendadak pukulan sang anjing itu mendarat di tubuh kucing dan membuatnya terjengkang ke belakang.

“Hm, sudah bagus. Ilmumu sudah sempurna. Saatnya kau pulang,” kata Mahaguru Kucing. Ia sedikit meringis kesakitan karena pukulan yang tidak bisa diantisipasi.

“Yang benar guru. Betulkah?”

“Besok. Berkemaslah. Segera turun gunung. Dan kembali ke kampungmu.”

“Baik guru.”

Mahaguru Kucing balik badan dan menuju ke bilik tempat ia tinggal. Ia tak tahu, ada senyum licik mengembang di muka anjing itu.

Tiba-tiba punggungnya sudah jatuh ke tanah dan ia terjepit di antara kaki-kaki sang anjing dengan moncong yang sudah penuh liur.

“Anjiiiiirrrr!!!” teriak kucing.

“Ha ha ha ha, tahukah kamu kucing. Kalau di dunia ini tak perlu ada dua binatang sakti mandraguna. Saatnya kau mati sekarang.”

Satu tetes air liur menetes di bahu kucing. Moncong anjing sudah bersiap menerkam dan menggeramus kepala kucing.

Mahaguru Kucing hanya punya satu kali kesempatan untuk lepas dari jeratan anjing. Sekali sentak ia berhasil membebaskan diri dari telikungan anjing lalu satu lompatan menuju pohon terdekat untuk naik ke atasnya.

Anjing terpana dalam sepersekian detik itu. Karena ia tak mampu untuk mengejar dan naik ke atas pohon.

“Kucing sialan!!!” Nafasnya Menderu

“Aku tahu suatu saat engkau akan mengkhianatiku, Jing. Jadi aku tak pernah mengajarkan kepadamu ilmu pamungkasku. Memanjat pohon,” kata kucing dengan bulu-bulu yang masih bergidik dan ekor mencuat ke atas.

Matahari tenggelam tidur. Malam menjelang. Kali Bluwak masih dengan alirannya yang tenang. Alas Kencono Wungu bergetar dengan teriakan anjing yang penasaran.

Sejak saat itu semua penghuni Alas Kencono Wungu tahu kalau ada anjing menggonggong di suatu malam berarti ia sedang penasaran kepada kucing. Sebab satu hal, ia tak bisa memanjat pohon. Anjing dan kucing pun menjadi musuh abadi.

Sampai kemudian manusia pun tahu. Ada perseteruan yang tak akan musnah.

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
30 April 2018
Dongeng di suatu petang.

3 thoughts on “Mahaguru Alas Kencono Wungu

  1. Selamat malam Pak Riza, kemarin waktu Lokakarya Kontributor Konten Situs DJP saya kelupaan menyampaikan salam dari Pak Big Sugeng untuk Pak Riza, “titip salam untuk Pak Riza, tulisannya bagus banget, orangnya apik banget ada pesan-pesan kebaikan.” 🙂

    Lucca Yoga

    Liked by 1 person

Tinggalkan Komentar:

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.