Cerita Lari Mandiri Jogja Marathon 2018 (2): Melangit Menuju Svarloka


Tampak Belakang

Prambanan masih gulita saat aku dan Mas Hafidz berada tak jauh di belakang garis start yang sudah dipenuhi para pelari. Sebagian besar dari mereka memakai kaos komunitas larinya.

Beberapa dari mereka ada yang memakai balon yang diikatkan di kaosnya. Mereka para pacer yang akan memandu kecepatan berlari sampai tiba di garis finis dengan beberapa kategori waktu.

Aku tak melihat Bang Patar dan Leccy tapi aku bertemu dengan Mas Arif Yunianto yang langsung mengambil posisi di dekat garis start.

Tidak lama kami di sana, hitung mundur perlombaan dimulai. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno melepas peserta lari Full Marathon pada 04.48 dengan terompet yang memekakkan telinga. Di saat itulah aku menekan tombol merah Garmin FR235-ku. Memulai pelarian ke arah barat Prambanan.

Menuju Garis Start.
Dengan Mas Hafidz.
Sesaat sebelum terompet berbunyi.

Jalanan yang dilalui ribuan pelari FM ini sempit. Buatku, kilometer (km) pertama dilalui dengan pace 8:45 menit/km. Karena ini adalah pengalaman FM pertamaku, maka targetku hanya ingin mengetahui seberapa jauh ketahanan tubuhku. Aku masih meraba-raba.

Yang pasti aku punya strategi. Di setiap water station (WS) aku akan berhenti dan minum seperti saat aku mengikuti Half Marathon (HM) di Jakarta Marathon dan Universitas Indonesia Half Marathon pada tahun lalu. Aku tak mau mengulangi kesalahan dua minggu sebelumnya saat salah hidrasi untuk menuntaskan latihan lari jauh sepanjang 35 km.

Sumber gambar dari Situs Resmi MJM

WS untuk FM di Mandiri Jogja Marathon 2018 ini ada di KM-3, 6, 8, dan 10. Selanjutnya ada di setiap kelipatan dua kilometer. WS adalah target jangka pendekku. Artinya aku tidak akan pernah berhenti lari kecuali di WS.

Cut-Off Time (COT) dalam perlombaan ini adalah 7 jam. Para pelari harus sampai di garis finis paling lama tujuh jam sejak lomba dimulai. Dan di setiap kelipatan 6 kilometer terdapat Check Point sekaligus COT dengan waktu 1 jam. Kalau ada pelari yang sampai di KM-6 lebih dari 1 jam atau di KM-12 lebih dari dua jam, maka panitia berhak menghentikan pelari untuk tidak melanjutkan perlombaannya.

Aku masih berlari dengan pace nyamanku. Di KM-6 aku mengambil setengah potong buah pisang. Sebenarnya aku tidak suka buah-buahan. Apalagi pisang. Lembek begitu. Bikin muntah. Tetapi kalau pisang goreng aku suka. Dan entahlah di KM-6 ini mengapa juga aku membawa buah ini. Di titik ini catatan waktuku adalah 46:26 menit. Masih di bawah COT.

Masih banyak pelari yang masih tersenyum lebar. Ini berarti masih di kilometer-kilometer awal. (Foto milik Cerita Lari)

Entah di kilometer berapa. (Sumber foto: cerita lari)

Buah pisang itu hanya kugenggam saja. Masih belum bisa kumakan. Di KM-8 jalanan mulai menaik. Matahari sudah mulai menerangi bumi. Di KM-9 rute pelarian mengarah ke arah utara.

Karena tak jadi kumakan kutaruh pisang itu di meja WS KM-10. Waktuku 1:16:19 jam. Jauh dari waktu terbaikku dengan 55:22 menit.

Di antara KM-10 dan 11 aku berhenti di toilet untuk berkemih. Aku bertemu dengan Mas Asda yang sudah mulai menyusulku. Mas Hafidz kadang berada di depanku dan di belakangku.

Di KM-12 catatan waktuku 1:31:49 jam. Ini masih di bawah COT. Aku mulai memakan Gu Gel pertamaku. Rasa gel itu strawberry campur rasa pisang. Aku menelannya dengan segan. Hampir-hampir saja aku muntah, tetapi aku tahan. Benda ini penting buat menambah staminaku. Apalagi aku belum sarapan.

Aku bertemu dengan Leccy dan Mas Salman entah di kilometer berapa. Di KM-14 aku berhenti kembali di WS. Aku merasa butuh energi lagi dan herannya aku mengambil potongan pisang yang kecil. Aku mulai membuka kulitnya dan memakannya tanpa merasa jijik. Dan enak. Rasanya seperti potongan pisang bakar yang pernah dijejalkan istriku ke mulutku. Aku akhirnya mengambil satu potongan kecil pisang lagi. Inilah saat pertama kali aku bisa menikmati pisang dalam seumur hidupku.

Di KM-16 jalanan masih menaik. Sudah ada pelari yang mulai jalan kaki. Aku segera memakan dua kapsul salt stick Gu Roktane. Ini berguna untuk mencegah kram.

Aku lupa di titik-titik kilometer mana saja ada musik, gamelan, dan sorakan yang diberikan oleh penduduk setempat kepada kami. Jelas itu sangat membantu menaikkan semangat.

Yang pasti aku tak melewatkan tangan para marshal cowok yang menyemangati kami. Aku beradu tos dengan tangan-tangan mereka. Aku ingin menyerap energi mereka yang masih bugar itu. “Semangat, Kak!!!” teriak mereka.

Sisi luar lutut kiriku dan belakang lutut kananku mulai sakit. Kepada medis aku minta disemprot dengan spray penghilang rasa sakit. Rasanya dingin sekali tapi nyaman.

KM-18 adalah puncak elevasi dengan ketinggian 351 mdpl. Aku telah berlari selama 2:23:53 jam. COT di titik ini adalah 3 jam. Walau lambat aku masih merasa nyaman dengan kondisi tubuhku. Aku memakan sebatang Fitbar. Rute mulai mengarah ke arah timur dan mendatar.

Di KM-19 jalur lari mulai mengarah ke selatan dan menurun.  Di-KM 20 aku memakan Gu Gel yang kedua dengan rasa yang berbeda. Entah rasa apa.

Dan akhirnya aku sampai di KM-21 dengan waktu lari 2:49:31 jam. Sudah setengah perjalanan. Aku berkemih di toilet yang tersedia di antara titik KM-21 dengan KM-22. Di antaranya juga ada water sprinkler (penyiram air) yang tidak mengucur deras. Rute lari di KM-23 mulai mengarah ke timur lagi.

Selepas WS KM-24 tiba-tiba aku merasa kepayahan. Aku sudah berlari selama 3,25 jam. Di benakku, aku sudah ingin berjalan saja. Dan berniat di WS KM-26 aku berhenti dan mulai jalan. Padahal aku sudah bertekad jalannya selepas KM-35 saja.

Entah seberapa banyak pelari yang berada di depan dan belakangku. Aku tak peduli. Para pelari punya kemampuan dan strateginya masing-masing dan segalanya terjadi sesuai dengan kecepatannya masing-masing.  Mereka semua punya waktu dan jamnya sendiri. Begitu juga denganku. Aku takkan membiarkan orang lain membuatku terburu-buru dengan waktu mereka. Omonganku ini kayak motivator saja. Ha ha ha.

Aku tak mengetahui masa depan. Pada saatnya, di KM-26 aku menemukan titik balik keruntuhan semangatku.  Aku bangkit dari Bhurloka dan melangit menuju Svarloka. Ada apa di sana?

(Bersambung. Tunggu cerita berikutnya.)

Cerita Sebelumnya: 

Cerita Lari Mandiri Jogja Marathon 2018 (1): Aku Membutuhkanmu

Cerita Selanjutnya:

Cerita Lari Mandiri Jogja Marathon 2018 (3): Menghilang di Rerimbunan Kembang Kenikir
Cerita Lari Mandiri Jogja Marathon 2018 (Terakhir): Inong, Apakah Aku Anak Ikan?

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
Lantai 16, 20 April 2018

7 thoughts on “Cerita Lari Mandiri Jogja Marathon 2018 (2): Melangit Menuju Svarloka

Tinggalkan Komentar:

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.