Petang mendung itu, di dalam ruangan berukuran enam belas meter persegi, dengan meja kayu besar di tengah dan dikelilingi banyak kursi rapat, Firmania Ayu Ambari, 29 tahun, ditemui di Gedung A1, Kompleks Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta (19 April 2017).
Di luar gedung, hujan mulai turun. Suara halilintar berulang kali terdengar. Ayu yang duduk di hadapan menyungging malu. Matanya membulat di balik kacamata. Rambutnya dicat coklat, tergerai sebahu. Baju batik yang ia kenakan adalah campuran warna biru dan merah. Di depannya, telepon genggam tergeletak dan terhubung dengan kabel dari catu daya.
Lulus dari University of Melbourne, Australia, ia segera bekerja sebagai pelaksana di Seksi Pemantauan Keamanan Sistem dan Jaringan Komunikasi Data, Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan. Gadis kelahiran Semarang ini sehari-hari menjaga koneksi jaringan pihak ketiga dengan DJP dan memastikan kondisi jaringan di kantor pajak seluruh Indonesia berjalan baik. Tugas yang tidak ringan.
“Teknologi Informasi itu sebenarnya gampang. Googling saja, semua ada. Tinggal mau enggak kita mempelajarinya,” kata Ayu yang menguasai bahasa pemrograman Java ini.
Dalam kehidupan sehari-hari, Ayu pun tidak lepas dari dunia Teknologi Informasi. Sebagai anggota program beta sistem operasi telepon genggam dan komputer merek terkemuka, Ayu menginformasikan kepada produsen kalau-kalau ada fitur dalam produk itu yang tidak bisa dijalankan. “Saya kasih tahu kepada mereka bug-bug yang ada,” kata penyuka kopi tanpa gula ini.
Bahkan, Ayu mengakui, kalau dirinya adalah seorang early adopter: orang yang mulai menggunakan produk atau teknologi sesaat produk itu diluncurkan. Ini segaris dengan kepribadian Ayu yang menyukai dan sering mencoba hal-hal baru. “Terutama games-games yah, karena saya suka main games di waktu senggang.”
Dunia perkabelan tak membuat Ayu kehilangan kelembutan. Ia masih menyukai puisi. Ayu mengambil telepon genggamnya dan mengirimkan screenshot akun twitternya melalui aplikasi percakapan.
Di lini masanya itu, pemilik akun Firmania ini menulis sajak seperti ini, “Mencari kasih? Tengoklah di bawah-bawah jembatan atau di dalam gerobak-gerobak. Di sana ada bahagia bahkan gelak tawa, walau semua sederhana.” Cuitan Ayu itu diakhiri dengan tagar #sajakmalam.
Menurut Ayu, perempuan itu harus punya daya tahan hidup. “Perempuan tidak boleh terjebak di dunia nyaman,” katanya. Di sana, ujar dia, banyak perempuan berhenti berkreasi. “Ketika sudah menikah, punya anak, maka perempuan berhenti untuk mengembangkan dirinya,” ujarnya. Padahal, lanjut Ayu, yang selama ini dimiliki belum tentu ada selamanya.
“Perempuan itu tak boleh bilang sudahlah begini saja cukup,” kata Ayu. Menurut Ayu, cara bersyukur adalah dengan memaksimalkan potensi yang dimiliki.
“Life begins at twenty five,” Ayu menambahkan. Entah kebetulan atau tidak, suara geledek terdengar keras saat Ayu mengatakan itu. Apalagi, tutur Ayu, perjalanan yang bisa ditempuh masih panjang. Carilah sesuatu yang menyenangkan di organisasi ini, katanya, dan itu bisa didapat jika perempuan tidak berhenti untuk belajar.
Uap-uap udara telah gugur. Ayu berujar singkat untuk perempuan Indonesia, “Kerja keras itu tidak mengkhianati. Kerja itu ibadah. Tidak perlu hitung-hitungan.”
Maksud Ayu, hidup tidak melulu soal waktu dan uang, melainkan ilmu. Mereka yang berada di bagian pelayanan, mesti mau belajar di bidang teknis perpajakan, penagihan atau teknologi informasi.
Hujan di luar telah berhenti. Malam telah menjelang. Ayu kembali menulis puisi. Mungkin, serupa Kartini yang menenggelamkan diri dalam nyanyi gamelan sambil menulis tentang impian. “Impian tinggal impian. Orang harus membuatnya menjadi lebih indah, lebih nikmat, dengan mencoba membuatnya jadi kenyataan.” (Surat Kartini pada Nyonya Nelly van Kol, 20 Agustus 1902). (Rz).
#KartiniDJP
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
19 April 2017
Dibuat untuk:
https://www.facebook.com/DitjenPajakRI/posts/10156113336387501