Roman HAMKA dengan Janda Cianjur, Cinta yang Putus di Tengah Jalan


(Via http://www.stoomvaartmaatschappijnederland.nl/g/)

Di Bawah Lindungan Ka’bah adalah roman karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau biasa disebut Hamka. Salah satu latar novel ini adalah Mekkah di tahun 1927. Saat haji sedang ramai-ramainya karena Tanah Hejaz jatuh ke tangan Ibnu Sa’ud dan kenaikan harga getah di tanah air. Dari tanah air saja ada 64.000 calon jama’ah haji.

Novel ini pun merupakan buah perjalanan spiritual Hamka ke tanah suci di tahun yang sama. Sekaligus dalam kenyataan yang sebenarnya ada kisah roman yang mengiringi perjalanan itu. Di atas sebuah kapal. Bersama seorang perempuan asal Sunda bernama Kulsum.

Saat itu awal Februari 1927, Malik, sebutan Hamka di kala muda, meninggalkan pelabuhan Belawan, Medan, dengan menggunakan kapal “Stoomavaart Maatschappij Nederland.” Jeddah adalah tujuan kapal itu. Melewati Laut Ceylon menjelang Laut Socotra, genap usianya 19 tahun.

Empat belas hari di atas kapal, sesekali melihat daratan, Malik sudah punya kebiasaan sendiri. Setiap subuh dia bangun dan azan, sesudah itu ia salat diikuti teman seperjalanannya dari Belawan. Begitu pula dengan waktu asar dan magrib. Usai itu, Malik membaca Alquran dengan suara yang merdu.

Kepandaiannya bergaul, mengobrol, dan beribadah membuatnya dikenal banyak jamaah haji yang lainnya. Di sanalah ia berkenalan dengan jamaah haji dari Priangan. Dengan orang-orang Sunda yang baik hati. Oleh mereka, ia dipanggil “Ajengan.” Panggilan hormat kepada orang yang dipandang alim. Pertemuannya dengan Kulsum diceritakan Malik dalam buku Kenang-kenangan Hidup Jilid Satu seperti ini.

Pemuda kita senantiasalah berusaha memperbaiki budi pekertinya. Kalau kurang pada rupa, jangan kurang pada budi. Karena? Karena rupanya ada pula di kalangan jamaah dari Sunda itu gadis cantik. Bila telah sore, matahari akan terbenam, mereka naik bersama-sama ke atas dek, dengan lenggang lenggok gaya manis itu. Rupanya ada di antara mereka gadis muda usia 17 tahun, hitam manis dan semampai badannya.

Sungguh benar gadis itu menumpang duduk ke pinggir palka ke tempat pemuda kita. Dan kedatangannya pun ditunggu harap cemas oleh pemuda kita. Habis magrib, si pemuda telah membaca Alquran. Dia yakin bahwa tidak lama lagi, “kenalannya” akan naik ke atas. Dan sebelum dia naik, pemuda kita belum berhenti membaca Alquran. Rupanya dalam usia demikian, adalah zaman pertumbuhan, lekas kena. Darahnya sudah berdebar-debar saja kalau Kulsum—nama perempuan itu—terlambat naik ke atas dek. Tetapi kalau telah berhadapan, dia “bodoh”, tidak pandai “bercengkerama”.

Meskipun Kulsum telah duduk di pinggir palka tempatnya namun dia membisu saja. Ketika itu telah lupa rupanya “pujaan” di Padang Panjang.

Suatu hari datang Sukarta. Orang dari Cianjur juga. Dia menyampaikan anjuran, kalau-kalau pemuda kita sudi kawin dengan Kulsum. Ayah dan bundanya gadis itu juga ikut berlayar bersama-sama, rasanya tidak menolak kalau dia memajukan pinangan. Darahnya berdebar pula ketika diberi jalan demikian oleh Sukarta.

Meskipun telah lampau berpuluh tahun, namun dia masih teringat tatkala kapal “Karimata” telah memasuki Lautan Merah. Lautan tidak berombak sedikitpun juga. Dua hari lagi akan sampai mereka di Pelabuhan Jeddah. Hari ketika itu masih pagi, kira-kira pukul sembilan. Jamaah banyak berdiri ke tepi kapal. Angin berembus agak sejuk karena masih ujung bulan Februari dalam lingkungan musim dingin.

Kulsum berdiri merenung lautan, melihat kapal memecah laut, ikan lumba-lumba beriring-iring menurutkan kapal. Alangkah cantiknya perempuan janda muda itu kena cahaya panas pagi, ujung selendang dikibas-kibaskan angin. Wajahnya tenang melihat laut, namun di sana terbayang pengharapan.

Tiba-tiba pemuda kita, setelah melihat gadis itu, mendekatlah ke sana. Sama-sama membisu karena tak mengerti bahasa masing-masing, namun penglihatan sayu dari kedua belah pihak dapatlah menggambarkan apa gerangan yang menggelora dalam hati masing-masing.

Dengan tenang pemuda kita mencabut sehelai sapu tangan putih dari saku bajunya, yang telah dilipat halus, lalu diberikannya kepada Kulsum, dan dia berkata dalam bahasa Melayu dengan tenang, menghamparkan rasa hatinya: “Tidak lama lagi berpisahlah kita. Moga-moga sesampai di Mekkah kita dapat bertemu lagi. Terimalah hadiahku ini sebagai kenang-kenangan.”

Dengan wajah berseri sapu tangan itu diterimanya dan dijawabnya dalam bahasa Sunda, yang kemudian setelah ditannyakannya kepada Akang Sukarta baru dia tahu artinya: “Hatur nuhun, Ajengan.”

Yang kejadian besoknya adalah lebih mengharukan lagi. Pada jam yang sama, waktu yang sama, seakan-akan telah mengikat janji. Kulsum telah berdiri terlebih dahulu di pagar dek kapal tempat dia berdiri kemarin. Pemuda kita pun pergi ke dekatnya sama-sama melihat lautan. Mereka tidak peduli begitu banyak jamaah haji di sekeliling mereka. Dan orang pun tidak peduli apakah yang menyebabkan dua hari berturut kedua anak muda itu berdiri ke pagar dek kapal. Dia tersenyum, Kulsum pun tersenyum. Lalu Kulsum mengeluarkan pula dari celah-celah kutangnya sehelai sapu tangan putih berpinggir biru seraya katanya, “Hadiah abdi ku Ajengan.” Disambutnya sapu tangan itu, lalu diciuminya dengan penuh keharuan. Rupanya telah disirami terlebih dahulu dengan minyak wangi.

“Terima kasih,” sambut pemuda kita dengan gembira dan terharu. Lalu dia mengulurkan tangan hendak bersalaman. Tetapi Kulsum tidak segera menyambut tangannya, hanya menyusun jarinya yang sepuluh lalu disinggungkannya saja sedikit ke ujung jari “Ajengan” kita, sesudah itu disusunnya kembali ke mukanya, sehingga tangan itu tidak sampai terpegang oleh si ajengan.

Itulah pertama kali seumur hidupnya, Malik bersalaman dengan salam orang Sunda. Setelah itu mereka tidak bertemu lagi.

Malik mengalami keraguan, menolak atau mengiyakan. Ini sebuah kesempatan besar. Apalagi melihat banyak juga yang menikah di kapal. Apalagi jalannya telah dibukakan oleh Sukarta. Orang tua Kulsum senantiasa manis mulut kepadanya, serta sudah dipersiapkan tempatnya di bawah sekaligus kelambu sebagai tempat mereka berdua, tapi ikatan jiwa dengan ayah ibu Malik membuatnya mengurungkan niat untuk menikahi Kulsum. Apalagi sudah biasa terdengar di kampungnya kalau nikah sama orang Bandung di kapal, akan hilanglah selamanya di sana. Tidak diharap pulang lagi. Contohnya telah banyak. Akhirnya diputuskan, Malik tidak jadi menikahi Kulsum.

Setelah beberapa lama di Mekkah, Malik bertemu dengan Sukarta. Orang Cianjur ini memberi kabar kepadanya, “Kulsum sudah kawin.” Hati Malik tergetar mendengar berita itu. Suatu saat Malik sedang Thawaf, kedengaran suara halus yang dikenalnya, “Ajengan!” Malik hanya melihat matanya saja. Seluruh wajahnya tertutup oleh malaya putih halus. Hanya itulah kenang-kenangan yang dapat diingatnya tentang Kulsum, Perempuan Sunda.

Ada Kulsum, ada Maryam, ada pula Perempuan di Medan yang memintanya agar tak pulang ke Padang Panjang setelah berhaji, dan pada akhirnya, dua tahun setelah berangkat haji, ia menerima pertunangan dengan seorang gadis pilihan ayahnya. Romannya berakhir di sini. Tapi tidak dengan karya tulisnya. Darinya muncul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka’bah yang fenomenal itu.

***

Riza Almanfaluthi

Dedaunan di ranting cemara

15 Agustus 2015

Ditulis buat dakwatuna.com

http://www.dakwatuna.com/2015/08/15/73199/roman-hamka-dengan-janda-cianjur-cinta-yang-putus-di-tengah-jalan/#axzz3iriDYe92


4 thoughts on “Roman HAMKA dengan Janda Cianjur, Cinta yang Putus di Tengah Jalan

Tinggalkan Komentar:

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.