RIHLAH RIZA #63: Warung Pengelana, Warung Termahal di Dunia


image

“Berapa Bu? Tanpa nasi, pakai sayur, telor dadar, dan ikan itu? Tanya saya sambil menunjuk ikan merah di etalase.

“Lima belas juta…” jawabnya.

“What the…” tiba-tiba dada ini terasa memelihara Fir’aun.

Warung yang letaknya di terminal Tapaktuan ini warung “termahal” sedunia. Menu makanannya berharga jutaan rupiah. Dijual oleh wanita “tertua” sedunia pula. Entah “bego” entah kenapa,  tetap saja pengunjungnya banyak. Termasuk saya yang bersedia datang ke sana. Tak peduli tunjangan kinerja naik atau tidak.

Bagaimana tak mahal kalau kita mengambil sepiring nasi, sayur, dan sepotong ayam goreng dihargai 15 juta rupiah?  Semuanya dalam satuan jutaan. Tapi tetap saja kalau kita bayar pakai uang gocap, dia balikin 35 ribu kepada pembeli. Ternyata  “abab” doang jutaan. Secara “abab” satuan ribuan rupiah tak berlaku di sana. Harga riilnya sama dengan warung-warung lainnya di ibukota Aceh Selatan ini.

Bagaimana penjualnya orang tertua sedunia kalau semua pembelinya dipanggil “Dek” oleh wanita Aceh separuh baya ini? Tak peduli yang datang pejabat atau aki-aki, Ibu yang saya belum ketahui namanya walau sudah hampir 21 bulan di Tapaktuan ini tetap akan memanggil semua pembelinya “Dek”.

Ini warung langganan saya. Tempat biasa saya makan siang. Menjadi kaporit favorit saya karena sumber proteinnya tersedia banyak terutama sayur-sayuran dan ikan. Pembeli yang datang mengambil sendiri nasi dan lauk-pauknya. Tak peduli mengambil nasi atau sayurnya banyak yang dihitung tetap lauk-pauknya saja. Ini yang saya suka. Kalau di warung lain diambilkan oleh penjualnya. Sayurnya sudah dijatah,  kita tak bisa ambil seenaknya. Di sini tidak. Silakan ambil sepuasnya. Nambah juga boleh.

Menu yang paling saya suka di sini adalah telur dadar dan kepala ikannya. Sering kali saya harus menahan diri untuk memakan menu yang terakhir itu karena ada santannya. Karena sesuatu dan lain hal saya memang harus menghindari setiap masakan yang mengandung santan ini.

“Kenapa tak pakai nasi Dek?” tanya ibu itu suatu ketika. Sebuah tanya yang gegas untuk menghilangkan kepenasarannya selama ini.

“Biar tak buncit Bu,” jawab saya sekenanya. Tapi jawaban yang betul kok. Nasi putih itu memiliki indeks glikemik yang tinggi. Bertanggung jawab dalam peningkatan insulin yang merangsang penimbunan lemak dalam tubuh.

Pernyataan ini bukan tak menghargai para petani yang berjuang siang dan malam menyediakan pangan buat rakyat di republik ini, melainkan fakta yang harus diketahui oleh mereka yang sudah kelebihan berat badan. Buat mereka yang kurus tentu tak masalah makan nasi banyak asal memang tak punya riwayat diabetes melitus. Yang pasti mereka yang mengalami obesitas punya risiko lebih tinggi kena diabetes melitus daripada yang tidak obesitas. Semoga kita semua dijauhkan dari penyakit seperti ini.

Omong-omong, hari ini hari Sabtu (6/6). Kebetulan mes tidak sepi. Semua penghuninya lengkap, tak ada yang pulang kampung. Insya Allah mereka akan pulang kampung minggu depan, sekalian silaturahmi menjelang puasa.

Tak banyak yang saya kerjakan di hari libur ini. Hari yang mengizinkan saya untuk rehat serehat-rehatnya. Pergi keluar mes hanya sekadar pergi ke pasar beli air tahu, telur, dan jagung. Pun, ke meunasah buat bermunajat. Serta pergi ke warung Indah Mentari ini, yang kebetulan pula saya lagi berhasrat sehasrat-hasratnya menuliskannya dalam episode Rihlah Riza yang ke-63 ini.

Pada galibnya saya memperbanyak membaca di hari ini. Menuntaskan beberapa buku dan menulis Rihlah Riza ini . Tak bisa sampai di angka itu jika saya tak membaca. Baik secara hakiki atau maknawi.

Membaca adalah obat hepi sepi saya. Dan memang betul, karena seorang ulama pernah menuliskannya demikian: “Membaca adalah hiburan bagi orang yang kesepian, perangsang bagi pemikir, dan pelita bagi seorang pengelana.” Bukankah saya adalah seorang yang sedang berkelana? Entah di Tapaktuan ataupun di dunia ini. Akhirnya ya di “sana” itu.

Kita semua adalah Pengelana. Dan sebaik-baik pengelana adalah yang punya bekal cukup untuk sampai ke tujuan. Sudah cukupkah bekal kita?

Mari berkontemplasi. Agar tak kehilangan arah. Selamat berlibur.

image
Di sebuah persimpangan. (Foto koleksi pribadi)

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
6 Juni 2015

Tinggalkan Komentar:

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.