Uassu! Kuabeh



Zaman sekarang sudah banyak yang pada keblinger. Kesopanan cuma sebatas kata-kata. Atau hanya ada dalam pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Pengaplikasiannya nihil. Sebabnya antara lain karena ketiadaan keteladanan banyak petinggi negeri ini. Salah satunya ditunjukkan oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo saat ia memakai kaos bertuliskan “Uassu! Kuabeh”.

Ulasan ini mungkin terlambat. Karena foto politisi PDIP ini sudah diunggah lama di Twitter oleh akun @arbainrambey pada tanggal 14 Juli 2014 lalu. Tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Daripada sedikit orang yang membiarkan hal ini hanya karena berlindung dibalik alasan kreatifitas seni.

Daripada hal ini dibiarkan begitu saja lalu menjadi sebuah kewajaran. Juga daripada ditiru oleh generasi yang akan datang. Disangkanya hal ini adalah hal yang biasa-biasa saja tidak ada kaitannya dengan pembentukan karakter yang baik buat bangsa. Lebih baik terlambat agar tidak menjadi bias subjektif. Soalnya kalau ditulis pada waktu masa-masa kampanye pemilihan presiden bisa dianggap tendesius. Tersebab gubernur ini adalah ketua tim pemenangan di Jawa Tengah untuk salah satu pasangan calon presiden. Tersebab pemilihan presiden telah usai.

“Uassu! Kuabeh” itu kalimat dalam bahasa Jawa yang berarti anjing semua. Anjing itu binatang najis dalam literatur Islam. Termasuk najis yang berat. Najis “Mughaladhah”. Bila orang atau pakaian terkena air liurnya maka harus dibasuh dengan air sebanyak tujuh kali dengan air dan salah satunya ditambah dengan memakai debu atau tanah yang suci.

Orang Jawa Tengah mafhum kalau kalimat ini adalah sebuah makian. Setara “kirik” yang berarti anjing dalam bahasa Jawa Cirebon. Atau serupa “patek celeng” dalam bahasa Madura yang berarti anjing hitam. Atau “bodat” yang berarti monyet dalam bahasa Batak. Semuanya makian yang bertalian dan diambil dari nama-nama binatang.

Ajip Rosidi mengatakan bahwa kata-kata makian dihamburkan orang kalau sedang marah atau sedang bertengkar, maksudnya tentu hendak membuat marah atau hendak menghina lawannya. Kata-kata demikian jarang atau bahkan tidak pernah terdapat dalam buku-buku pelajaran bahasa, tetapi biasanya mudah ditemukan kalau kita hidup dalam masyarakat yang orang-orangnya sering berkelahi. Anak-anak orang terhormat biasanya secara khusus dihindarkan dari mendengarkan kata-kata demikian. Oleh karena itu, anak-anak mempelajarinya langsung dari masyarakat–-kecuali kalau orangtuanya tukang bertengkar (Pikiran Rakyat, 15 Oktober 2011).

Tidak ada dalam buku pelajaran bahasa, digunakan oleh orang yang senang berkelahi, bukan kalangan orang yang bermarwah, kecuali dari orang tua yang sering bertengkar adalah empat hal yang bisa digarisbawahi dari pernyataan Ajip Rosidi di atas. Apalagi kalau dinilai dari sudut pandang agama. Tentu hal ini tidaklah elok. Apalagi ditunjukkan seorang pejabat daerah yang semestinya banyak memberikan contoh. Kalau sudah begini, aneh sekali jika mengaku sebagai Pancasilais sejati.

Ganjar Pranowo dalam peringatan Hari Kesaktian Pancasila pada tanggal 1 Oktober 2013 di Kantor Gubernur Jawa Tengah menilai kalau penerapan nilai-nilai Pancasila di masyarakat dengan sekadar menghafalkan merupakan metode yang jadul alias ketinggalan zaman. Ia pun bilang begini, “Tidak cukup hafalan, hafalan sudah jadul sekarang harus dicontohkan. Tidak hanya ngomong tapi ditunjukkan dengan perilaku.” (Kutipan berasal dari sini). Sayang sekali arahannya ini sangatlah bertolak belakang.

Tapi tak sedikit yang mendukung Ganjar memakai kaos makian seperti itu. Dengan alasan seni ataupun argumentasi bahwa kalimat itu bukan makian. Kalimat itu hanya ingin menegaskan gambar yang ada dalam kaosnya. Ya, gambar lima anjing di bawah tulisan itu. Sesungguhnya mereka naïf. Mari kita uji etik. Akankah mereka itu akan berlaku yang sama jika yang memakai kaos itu adalah politisi dari partai Islam? Saya yakin tidak.

Mereka akan mengecam dengan kecaman yang luar biasa kejamnya. Seakan-akan politisi partai Islam itu adalah Fir’aun dan tidak ada kebenaran yang pernah dilakukan oleh politisi tersebut. Karena yang memakai kaos ini berasal dari partai sekuler tentu beritanya juga tidak seheboh daripada politisi partai Islam itu. Inilah yang dinamakan dengan standar ganda. Standar yang biasa dilakukan oleh orang-orang munafik. Bicaranya lain di depan lain pula di belakang.

Coba uji etik kembali dengan memberikan kaos itu kepada anak-anak sekolah. Apakah guru-guru mereka di sekolah akan mengizinkan pemakaian kaos tersebut atau tidak? Jika kata-kata makian itu diizinkan maka suatu saat kita akan melihat anak-anak pelajar generasi penerus bangsa ini pergi ke sekolah dengan memakai kaos bertuliskan “Bitch” tanpa malu-malu dan tanpa adanya teguran dari para pendidik di sekolah. Kalau demikian adanya mau dikemanakan bangsa ini.

Kalau sekadar beralasan apa yang dilakukan oleh Ganjar Pranowo adalah bentuk semangat egaliter dengan wong cilik masih banyak bentuk lain yang memberikan keteladanan dan tidak memancing kontroversi.

Kaos yang dipakai oleh Ganjar itu membawa pesan yang tidak remeh. Pesan yang dibawa ke alam bawah sadar pembacanya. Yang nantinya akan membentuk pola pikir dan kebiasaan serta menjadi karakter suatu kepribadian.

Semoga ke depannya tidak ada lagi pejabat yang demikian. Semoga ini yang terakhir kali. Dari ‘Abdullah bin Mas’ud ra, Rasulullah saw bersabda, “Seorang mukmin bukanlah orang yang suka mencela dan bukan orang yang suka melaknat serta bukan orang yang suka bicara jorok dan kotor.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad)

Semoga ini menjadi nasihat buat diri saya sendiri. Terima kasih. Uass….ups…

 

 

***

 

Riza Almanfaluthi

Dedaunan di ranting cemara

Sumber gambar diambil dari sini.

 

 

 

 


Advertisement

4 thoughts on “Uassu! Kuabeh

Tinggalkan Komentar:

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.