RIHLAH RIZA: IBNU BATHUTHAH DAN SATE MATANG


RIHLAH RIZA: IBNU BATHUTHAH DAN SATE MATANG

 

Sekitar 659 tahun yang lalu Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim al-Lawati atau Samsudin atau lebih dikenal orang dengan nama Ibnu Bathuthah—sang penjelajah Muslim, berkunjung
ke Samudera Pasai di masa pemerintahan Sultan Mahmud Malik Zahir.

Berabad-abad kemudian Abu Kinan Fathiya bin Munawir bin Hasan Basri bin Orang yang tak diketahui lagi siapa namanya dan tak pernah disebut-sebut lagi itu atau lebih dikenal dengan sebutan Riza Almanfaluthi—muslim biasa-biasa saja—berkunjung ke tanah yang sama yang pernah diinjak Ibnu Bathuthah. Bedanya, Ibnu Bathuthah selama 15 hari berkunjung di sana, saya cukup tiga hari saja.

Seperti juga Ibnu Bathuthah yang menyambangi Mekkah terlebih dahulu daripada Aceh, saya pun demikian. Mekkah yang ngangenin telah saya sambangi di Oktober 2011. Dua tahun kemudian serambinya, Aceh baru saya datangi. Tepatnya di kota Banda Aceh untuk memenuhi kewajiban menghadiri pelantikan pejabat eselon IV di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Aceh. Setelah dilantik ini saya harus segera menuju ke Tapaktuan, Kabupaten Aceh Selatan, karena di sanalah sejatinya tempat saya bertugas: nagih-nagih utang pajak.

Banda Aceh, dengan segala informasi yang memenuhi pikiran saya akhirnya bisa dijejaki setelah menempuh penerbangan selama lebih dari dua jam setengah dari Jakarta dengan transit terlebih dahulu di Bandar Udara Internasional Kuala Namu Medan. Ini penerbangan yang kembali saya rasakan setelah penerbangan menuju Jeddah dua tahun lalu itu.

    Bandar Udara Internasional Sultan Iskandar Muda (BTJ) seperti bandara-bandara lainnya di kota-kota daerah, sepi. Di sana, kami berenam (Saya, Slamet Widada, Widodo, Teguh Pambudi, Marzaini, Agung Pranoto Eko Putro), disambut teman kami dari Kanwil Aceh, Pak Andy Purnomo, Kepala Seksi Bimbingan Pelayanan. Ini orang baiknya enggak ketulungan. Dia yang senantiasa mengantarkan kami ke mana-mana: ke hotel tempat kami menginap, ke tempat-tempat yang mengingatkan kami tentang tsunami, ke kantor wilayah tempat pelantikan, ke pusat oleh-oleh, ke rumah dinas yang akan dihuni teman saya, atau balik ke bandara mengantar kami pulang.

Bahkan dia yang menawarkan saya untuk menghubunginya kembali jika akan balik lagi ke Banda Aceh. Satu prinsip yang ia ajarkan kepada saya, siapa lagi yang akan menyambut dengan sebaik-baik sambutan kecuali sesama perantau. “Sudah jauh dari keluarga, ya jangan ditelantarkan,” tuturnya. Sungguh, Pak Andy ini sosok anshor buat kami para musafir.

Banda Aceh sudah barang tentu tidak seramai Jakarta. Kotanya tenang. Jalanannya masih lengang. Jam enam pagi masih sunyi. Geliatnya baru mulai terasa siangan dikit. Malam-malamnya warung kopi yang berfasilitas wifi dan layar besar buat nonton bareng-bareng, ramai dengan para pengunjung. Tak ada lagi wanita lepas jilbab, bercelana pendek, tank top, mondar-mandir pamer aurat. Laki-laki pakai celana pendek juga tak terlihat. Di sana tak ada yang namanya tukang tambal ban adanya tukang tempel ban. Di facebook teman saya sampai bertanya, ditempel apa bannya? Sholat jam lima pagi di sana haram hukumnya, karena pada saat itu waktu shubuh jatuh pada pukul 05.24 WIB.

Kami bermalam di Hotel Medan. Hotel yang pada saat tsunami dulu ada kapal nelayan yang terdampar di halamannya. Foto hotel dan kapal nelayan saat tsunami itu saat ini menjadi foto-foto yang menghiasi dinding-dinding hotel bahkan menjadi gambar utama yang tercetak di kartu kunci pintu kamar hotel.

(foto kompas)

Selama dua hari dua malam kami menginap di sana. Malam pertama kami isi dengan mencari warung makan. Tak perlu jauh-jauh karena lapar yang sudah sangat mendera, jadi kami ambil tempat di sebuah warung sate matang persis di pertigaan depan hotel kami. Sate matang adalah sate daging sapi. Dimakan bersama bumbu sate dan kuah yang disediakan di piring lain. Ditambah dengan gulai, lengkap sudah nikmatnya.

    Teman saya menikmati Mi Aceh. Mi Aceh ya Mi Aceh juga. Tak seperti warung sate di Madura atau pun warung nasi di Tegal yang menyembunyikan nama kotanya, di kaca etalase warung Mi Aceh terpampang gede-gede tulisan Mi Aceh.

    Setelah itu kami jalan-jalan sebentar. Lihat-lihat suasana malam di sekitaran tempat kami menginap. Suasana jembatan di atas sungai yang saya tak tahu namanya dan di pasarnya, masih ramai walau sudah jam 10 malam. Kalau di Citayam jam segitu sudah sepi. Tak jauh-jauh kami pergi karena kami harus mempersiapkan diri buat keesokan harinya.

Suasana di tepian krueng di Banda Aceh. Ada yang mancing di sudut kiri bawah foto.

    Ini cuma sekelumit, masih banyak yang akan terkisahkan. Seperti pula Ibnu Bathuthah yang mengumpulkan cerita perjalanannya keliling dunia dalam sebuah kitab fenomenal yang bernama: Rihlah Ibnu Bathuthah. Maka saya namakan pula kumpulan cerita perjalanan ini dalam sebuah kitab catatan ringan bernama: Kitab Wiro Sableng Kitab Putih Wasiat Dewa Rihlah Riza. Insya Allah.

(bersambung)

***

Thanks to: Pak Andy Purnomo, hanya Allah yang bisa membalas kebaikan Anda dengan kebaikan yang berlipat ganda.

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

3:40

20 Oktober 2013

 

Tag: Bandara sultan iskandar muda, kuala namu, banda aceh, ibnu bathutah, krueng aceh, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Aceh

8 thoughts on “RIHLAH RIZA: IBNU BATHUTHAH DAN SATE MATANG

Tinggalkan Komentar:

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.